Beranda | Artikel
Tantangan Dakwah Kampus
Senin, 25 September 2023

Bismillah.

Apa yang sering kita dengar mengenai para mahasiswa? Mungkin kita pernah mendengar mengenai gerakan mahasiswa yang menggerakkan unjuk rasa untuk melancarkan kritik kepada berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil kepada rakyatnya. Atau mungkin kita pernah mendengar tentang fenomena pergaulan bebas yang merusak moral dan akhlak remaja.

Dakwah kampus yang selama ini dianggap menjadi bagian dari solusi pun ternyata tidak sepi dari sorotan. Apa yang menimpa pada sebagian aktivis dakwah kampus dengan terjun dalam dunia politik praktis pun telah sedikit banyak menggambarkan betapa kemurnian dakwah Islam ini seringkali terkotori oleh berbagai ambisi dan kepentingan dunia sesaat. Mereka yang merekrut para mahasiswa untuk aktif membantu program dakwah, tetapi pada akhirnya menjadikan anak-anak muda ini sebagai kader partai politik demi mengumpulkan suara.

Saudaraku yang dirahmati Allah, perjuangan para da’i tauhid dan sunah di sepanjang masa senantiasa berhadapan dengan tantangan dan hambatan. Tidak terkecuali dalam berupaya memberikan pencerahan dan bimbingan bagi kaum mahasiswa. Karena medan dakwah manusia ini (seperti dikatakan para ulama) adalah dada-dada manusia, yaitu hati mereka. Sementara keadaan hati manusia itu berbeda-beda dan memiliki tingkat kepekaan yang tidak sama dalam menerima atau menyambut hidayah yang turun kepada mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa untuk memperbaiki kondisi masyarakat ini termasuk di dalamnya para mahasiswa adalah harus senantiasa dengan memprioritas perbaikan akidah dan pemurnian tauhid di dalam hatinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun di awal-awal dakwahnya di Makkah bertemu dan berhadapan dengan banyak pemuda dan mereka itulah yang lebih mudah menerima dakwah beliau dibandingkan dengan kebanyakan kalangan tua yang menjadi tokoh sentral di tengah kaumnya. Lihatlah sosok Ali bin Abi Thalib serta para sahabat lainnya yang relatif masih muda dibandingkan sosok para pembesar Quraisy, seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan kawan-kawannya yang dengan keras menolak dakwah tauhid. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda memiliki potensi besar dalam menerima hidayah dan ikut berjuang menyebarkannya. Lain dengan kaum tua yang kental dengan tradisi serta keyakinan nenek-moyang yang telah mendarah-daging dalam dirinya.

Di antara tantangan terbesar di dalam perkembangan dakwah kampus itu adalah para mahasiswa atau anak muda itu sendiri. Karena dalam usia muda banyak sekali godaan dan gaya hidup menyimpang yang terbuka lebar di hadapannya. Terlebih pada saat seperti sekarang ini, ketika jendela informasi dan teknologi komunikasi begitu pesat. Atmosfer kebebasan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi membawa kebaikan dan di sisi lain justru bisa mencelakakan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ

“Ada dua nikmat yang banyak orang merugi dan tertipu oleh keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Secara umum para mahasiswa dan generasi muda adalah mereka yang paling banyak merasakan nikmat sehat dan waktu luang ini. Sehingga tidak jarang kita melihat atau mendengar anak-anak muda dan mahasiswa yang asyik bermain game, nonton konser, nongkrong di kafe, cuci mata di mal, dan lain sebagainya. Di sisi lain, mungkin tidak banyak pelaku kegiatan semacam itu yang berasal dari kalangan tua, walaupun bisa jadi fenomena seperti ini tetap ada di antara mereka.

Para ulama kita memberikan petuah dan nasihat bahwa orang yang selalu bersangka baik kepada dirinya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri. Sebaliknya, orang yang bersangka buruk kepada dirinya, justru itulah tanda bahwa dia memahami karakter dan sifat manusia. Sebab manusia ini diciptakan dalam keadaan lemah. Dia membawa sifat zalim dan berada dalam kebodohan. Ia juga dibelit oleh hawa nafsu dan perasaan. Belum lagi warisan tradisi dan gaya hidup negatif yang bertebaran di tengah masyarakat. Dengan demikian, seorang mahasiswa patut untuk selalu waspada dalam memperbaiki keadaan dirinya. Waspada dari berbagai pintu kerusakan, baik yang muncul dari arah fitnah syubhat (kerancuan pemikiran) dan rusaknya keyakinan maupun dari arah fitnah syahwat (kesenangan yang terlarang).

Baca juga: Menjadi Mahasantri, Mahasiswa Plus Santri

Menjadi sosok mahasiswa yang tetap istikamah di tengah badai fitnah adalah sebuah perjuangan yang tidak kenal lelah. Di lingkungan kos mungkin dia akan bertemu dengan sosok para mahasiswa yang tidak peduli dengan salat dan agamanya. Yang mereka pikirkan hanya nilai IPK dan peluang dunia kerja atau pacar yang cantik jelita. Hari demi hari dilalui tanpa pernah menghampiri majelis ilmu dan menyimak nasihat iman untuk hatinya. Dia hadir salat Jumat pun dengan rasa kantuk yang berkuasa saat khatib berbicara. Dia berada di barisan saf yang belakang demi mendapatkan kesempatan lebih dulu untuk mengambil nasi Jumat yang disediakan oleh takmir.

Dunia kampus saat ini mungkin sudah berbeda jauh dengan dunia kampus 10 tahun atau 20 tahun yang lalu. Rasa hormat kepada dosen atau kepada kakak angkatan pun mungkin tidak seperti dulu. Padahal menghormati orang yang lebih tua dan lebih berilmu (apalagi dalam ilmu agama) adalah bagian dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Hal ini bisa dengan mudah kita lihat ketika kita membuka media sosial, ketika orang dengan mudah berkomentar dan menjelek-jelekkan orang lain yang bisa jadi secara umur dan ilmu lebih senior darinya. Banyak hal yang telah berubah dan merosot dalam adab berbicara atau menulis di media sosial. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرًا أو ليصْمُت

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata-kata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di antara bukti besarnya kerusakan yang menimpa generasi muda dan mahasiswa ini adalah munculnya gerakan massa yang disebut dengan istilah demonstrasi atau unjuk rasa. Sejak tahun 98, kita pernah mendengar demo besar-besaran yang bertujuan untuk menggulingkan penguasa di negeri ini. Akibatnya, berbagai kerusakan dan kerugian merembet ke mana-mana. Mereka ingin menolak keburukan tapi dengan mendatangkan keburukan yang lebih besar. Sehingga melayanglah sekian banyak nyawa dan diambilnya harta dengan cara yang zalim dan nista. Masih teringat di telinga kami teriakan para demonstran pada hari itu “Gantung, gantung Soeharto!” Sebuah seruan yang mengandung ‘penghalalan’ darah kaum muslimin yang tidak mereka sadari.

Belum lagi, jika kita cermati, tidak sedikit para mahasiwa yang masih saja terbelenggu oleh doktrin demokrasi. Semboyan mereka adalah “suara rakyat suara tuhan”. Oleh sebab itu, banyak orang yang mengaku pejuang keadilan, tetapi membela berbagai bentuk penyimpangan dengan atas nama demokrasi. Mereka menyerukan kebebasan ala sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mereka menghendaki kebebasan tanpa batas bagi kaum wanita sehingga tidak ada lagi kewajiban untuk menutup aurat, tidak ada lagi kewajiban untuk berbakti kepada suaminya, dan tidak ada lagi larangan bagi wanita untuk menjadi pemimpin negara. Bahkan, belakangan ini kembali marak tuntutan para pejuang HAM yang ingin melegalkan berbagai penyimpangan seksual dengan dalih menghargai hak manusia dan kebebasan mereka. Subhanallah!

Dakwah kampus hanya akan menjadi angan-angan apabila para mahasiswa dan civitas akademika di suatu perguruan tinggi tidak punya kepedulian kepada agamanya. Padahal, kepedulian kepada agama dan pemahaman tentang Islam inilah yang menjadi gerbang kebaikan dan kemajuan umat di masa depan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من يُرِدِ الله به خيرا يُفَقِّهْهُ في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemuliaan suatu kaum tergantung pada komitmen mereka untuk mempelajari Kitabullah dan menebarkan keindahan ajarannya kepada manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيرُكُم من تعلَّمَ القرآنَ وعلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إن اللهَ يَرفعُ بهذا الكِتابِ أقْواماً ويَضَعُ به آخَرِينَ

“Sesungguhnya Allah memuliakan dengan sebab Kitab ini suatu kaum dan akan merendahkan dengannya sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim)

Kemuliaan seperti apa yang dirindukan negeri ini, apabila para mahasiswanya sibuk dengan permainan dan musik-musik sehingga lupa dari tadabbur Al-Qur’an dan ilmu agama?!

Baca juga: Peran Dakwah Mahasiswa terhadap Pembentukan Karakter Bangsa

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.


Artikel asli: https://muslim.or.id/87514-tantangan-dakwah-kampus.html